Perundungan Daring Jadi Momok Anak dan Remaja
Kurangnya pengontrolan orangtua dan pendidik terhadap penggunaan media sosial di kalangan anak dan remaja seringkali memicu terjadinya perundungan daring atau cyberbullying. Menurut data dari UNICEF, sejumlah 41-50% anak dan remaja di Indonesia dalam rentang usia 13-15 tahun pernah mengalami tindakan perundungan daring.
“Cyberbullying disebabkan antara lain oleh rasa dendam, marah, frustasi dan tidak dianggap. Selain itu juga karena mencari perhatian, iri, atau sekedar iseng,” tutur Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian (Kominfosandi) Kota Yogyakarta, Ig. Trihastono pada acara workshop anti-perundungan yang diselenggarakan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perlindungan Perempuan dan Anak (DPMPPA) Kota Yogyakarta, Kamis (14/11) pagi di Auditorium Lt.3 Dinas Penanaman dan Perizinan Kota Yogyakarta.
Lebih lanjut, Trihastono mengatakan, perundungan daring dapat berdampak buruk pada korban maupun pelaku. Dampak pada korban antara lain berupa perubahan perilaku menjadi merasa cemas, terisolasi, dan tidak puas terhadap diri sendiri, serta depresi, bahkan perasaan ingin mengakhiri hidupnya. Sementara pada pelaku, perundungan online dapat menyebabkan perasaan dihantui rasa bersalah, dan kesulitan dalam mengendalikan emosi serta sulit membangun relasi dengan orang lain.
“Perlu peran aktif guru dan orangtua dalam mencegah cyberbullying, antara lain dalam memberi pemahaman terkait cyberbullying pada peserta didik, membuat kebijakan anti-bullying dan memonitor penggunaan gawai di lingkungan sekolah. Sementara orangtua harus dapat membangun relasi yang baik dengan anaknya,” Imbuh Trihastono di hadapan 50 peserta workshop.
Sementara, Kepala Bidang Perlindungan Anak DPMPPA Kota Yogyakarta, Fatmah Rosiyati menambahkan, sekolah sebagai perangkat layanan pendidikan di mana anak-anak berinteraksi selama kurang lebih dari delapan jam menjadi salah satu tempat yang berisiko tinggi terjadinya perundungan sehingga guru sebagai pendidik utama diharapkan dapat memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi siswa dan siswi yang rentan menjadi korban maupun pelau perundungan sehingga mampu menerapkan perlakuan yang tepat dalam mencegah perundungan.
“Sementara orangtua sebagai tempat anak belajar yang paling pertama juga berperan penting dalam menentukan apakah situasi perundungan dapat berkembang, berhenti, maupun pencegah. Hal ini yang sering luput. Orang tua tidak berusaha untuk melihat dan menghentikan perundungan selama tidak menimpa anak mereka,” ungkap Fatmah.
Lebih lanjut, Fatimah mengatakan, filosofi kekerasan menyatakan bahwa siapapun berpotensi menjadi pelaku kekerasaan sehingga perlu perang semua stakeholder, baik pemerintah, pendidik, orangtua, maupun masyarkat untuk bekerjasama dalam mencegah terjadinya perundungan.
“Pemkot menyadari bahwa negara perlu hadir untuk memberi bekal pada orangtua dan pendidik tentang pentingnya gerakan anti-perundungan untuk memastikan anak darn remaja dalam kondisi terlindungi, terpenuhi haknya, dan tidak mendapat perlakuan yang salah, inilah yang menjadi latar belakang diselenggarakannya workshop anti-perundungan,” Tambahnya.
Workshop ini sendiri diselenggarakan selama dua hari, yakni Kamis (14/11) dan Jumat (15/11) dengan peserta 100 guru Bimbingan Konseling (BK) dan komite serta orangtua murid dari 50 SD dan SMP di wilayah Kota Yogyakarta. Hadir sebagai pemateri adalah Kepala DInas Kominfosandi Kota Yogyakarta yang membawakan materi tentang perundungan daring dan Febriyanti Putri Khatulistiwa selaku Konsultan UNFPA untuk Proyek UNALA yang dengan materi mengenai Dampak dan Penanganan Perundungan di Sekolah.
“Harapannya setelah mengikuti workshop ini, peserta dapat memhami pentingnya gerakan anti-bullying, memahami definisi dan bentuk-bentuk bullying, serta dapat mengidentifikasi dampak bullying sekaligus melakukan langkah-langkah pencegahan perilaku bullying,” tandas Fatmah. (ams)